Pejabat PLN Terduga Pelaku Tindak Kekerasan Bersajam dan Predator Seksual, Berlindung Dibalik Jargon Tegak Lurus

Pejabat PLN Terduga Pelaku Tindak Kekerasan Bersajam dan Predator Seksual, Berlindung Dibalik Jargon Tegak Lurus
Pejabat PLN Terduga Pelaku Tindak Kekerasan Bersajam, sumber foto; (Dok. IWO).

ORBITRAYA.COM, Jakarta - Pada Oktober 2025 lalu, PT PLN (Persero) berhasil meraih sertifikasi dari Great Place to Work (GPTW) Indonesia sebagai perusahaan berskala besar (Large Scale Company / Over 1.000 Employee). Penghargaan itu juga bahkan bisa dilihat melalui https://greatplacetowork.co.id/
Namun, raihan itu sangat kontras alias berbanding terbalik ketika tindakan _sexual harrasment_ atau pelecehan seksual masih kerap terjadi di lingkungan PLN.

Menurut informasi dari pegawai PLN Kantor Pusat, banyak laporan Sexual Harrasment melalui Employee Assistance Center (EAC) email ke eac@pln.co.id yang dialami oleh pegawai wanita PLN  tidak dilanjuti. Hal ini terjadi karena Divisi HSC merupakan salah satu bidang di Direktorat Legal & Human Capital (LHC) yang menangani pelaporan pelecehan seksual tersebut dipimpin oleh seorang pejabat yang diduga Predator Seksual.

Bahkan bisik-bisik terdengar EVP HSC atau pimpinan dari Divisi HSC berinisial GA, telah mengakui perbuatannya kepada Direktur LHC PLN Yusuf Didi Setiarto, hingga akhirnya perbuatan sang anak buah diampuninya. Tak heran, dengan pengakuan dosa tersebut, kursi sang pejabat pun tak tergoyahkan.

Lolosnya oknum EVP tersebut dari perbuatan tercela itu, akhirnya berdampak luas pada kasus serupa lainnya. Ironisnya, meski banyak laporan terkait kasus sensitif ini, si EVP bukannya mengambil tindakan tegas, melainkan langsung menyimpulkan, tidak akan dilanjutkan.

Dalihnya, bahwa setiap perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Bahkan keputusan itu diambil tanpa mendengarkan dari sisi korban atau pelapor.

"Hal yang mendasari EVP melakukan tersebut karena beliau adalah pelaku predator seksual yang sudah banyak korbannya," sebut sumber di PLN Pusat, Jumat (7/11/2025).

Setali tiga uang, langkah oknum EVP itu disinyalir didukung penuh oleh Yusuf Didi Setiarto selaku Direktur LHC yang membawahi berbagai divisi mengenai pengelolaan SDM.

Karena faktanya, mantan Deputi II KSP era Presiden Jokowi itu tak pernah mengambil langkah tegas terhadap bawahannya walaupun Pejabat Tinggi PLN. Seolah-olah Yusuf Didi tidak peduli akan keselamatan pegawai dari tindakan _Sexual Harrasment_.

Dan terbaru, indikasi perlindungan terhadap pegawai yang melakukan dugaan tindak pidana, juga dilakukan Direktur LHC terhadap seseorang oknum EVP Bantuan Hukum berinisial CEN.

Padahal berdasarkan video yang beredar luas di media sosial, dalam insiden yang terjadi pada 26 Oktober 2025 di Jalan Raya Cinere, Depok, Jawa Barat itu, oknum tersebut bersama istri dan kerabatnya, mengayunkan senjata tajam di  tengah jalan raya yang diambilnya dari mobil Double Cabin Ford bernopol B 1444 ZJD, untuk mengejar juru parkir yang memicu emosinya.

Namun, bukannya melakukan tindakan tegas atas sikap pribadinya diluar dinas yang telah mencoreng nama perusahaan, pihak PLN justru menyiapkan pengacara korporasi untuk melakukan pembelaan hingga akhirnya mendapatkan Restorative Justice (RJ), setelah dilakukan perdamaian dengan korban. Dan perjalanan karir CEN pun terbilang mulus menjadi EVP meskipun punya rekam jejak indispliner. Informasinya, CEN berbulan-bulan mangkir kerja. Bahkan hal itu sudah menjadi rahasia umum.

Menyikapi kedua masalah tersebut, Koordinator Nasional Relawan Listrik untuk Negeri (Kornas Re-LUN) sekaligus Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO), Teuku Yudhistira mengungkapkan, khusus untuk kasus _Sexual Harrasment_, PLN harusnya tegas menegakkan Kepmenaker No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang mewajibkan setiap perusahaan, termasuk BUMN seperti PLN, untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) internal.

"Tapi fakta yang terjadi justru sebaliknya, PLN sebagai badan usaha milik negara, belum sepenuhnya mengimplementasikan Kepmen tersebut. Hal ini terlihat banyaknya tindakan kekerasan seksual, perselingkuhan yang terjadi hingga ke unit-unit PLN yang tinggi kini tidak ada tindakan konkrit," ungkap Yudhis di Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Khusus untuk kasus tindak kekerasan bersenjata tajam yang diduga dilakukan oknum EVP PLN tersebut, Yudhistira mendesak Propam Polda Metro Jaya turun tangan untuk penyelidikan model penyelidikan yang dilakukan Satreskrim Polres Metro Depok yang memutuskan menyelesaikannya lewat Restorative Justice (RJ), mengingat kasus yang meresahkan masyarakat itu terjadi di ruang publik.

"Seharusnya penyidik Satreskrim Polres Metro Depok harus menerapkan pasal berlapis terhadap para pelaku, mulai Pasal 170 tentang pengeroyokan, 351 terkait penganiayaan," tegasnya di Jakarta, Kamis (30/10/2025).

"Selain itu, penyidik Polres Depok juga harus menerapkan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Darurat No 12 tahun 1951. Pasal berlapis harusnya, bukan malah RJ. Kami harap ini bisa menjadi perhatiannya an Propam Polda Metro Jaya dan Divisi Propam Mabes Polri," imbuhnya.

Yudhis juga mengatakan, jika benar yang bersangkutan adalah pejabat EVP PLN, jelas ini pelanggaran berat dan tidak bisa ditolerir.

"Jelas saya tidak habis pikir lihat pejabat PLN seperti ini. Kok bisa-bisanya bawa-bawa senjata tajam. Selain proses hukum, kami mendesak pimpinan PLN segera memecat kedua EVP PLN baik yang melakukan tindak kekerasan bersajam ataupun yang diduga pelaku pelecahan seksual. Bukan sebaliknya malah melindungi karena mereka bagian dari circle pimpinan PLN dan memegang teguh jargon tegak lurus yang saat ini selalu digaungkan di PL," tegasnya

Di samping itu, sambungnya, atas peristiwa ini, Yudhis juga meminta pimpinan Danantara segera mengevaluasi posisi Direktur Legal dan Human Capital (LHC) Yusuf Didi Setiarto, sebagai pimpinan langsung yang bersangkutan.

"Secara korporasi jelas ini adalah bentuk kegagalan pimpinannya. Karena itu, bukan hanya memecat pelaku, Danantara juga harus segera mencpot dan memecat Direktur LHC PLN dan merekomendasikan kepada Presiden untuk mencopot Dirut PLN Darmawan Prasodjo sebagai bentuk tanggungjawab terhadap kelakuan anak buahnya. Karena jelas ini bentuk kegagalan mereka berdua," pungkasnya.

Sebelumnya, pngamat hukum Dicki Nelson, SH secara tegas menyatakan, bahwa tindakan seseorang yang terlihat dalam video viral di media sosial menggunakan senjata tajam (parang panjang) untuk melakukan ancaman dan kekerasan fisik terhadap juru parkir seperti yang diposting akun @depok24jam, merupakan perbuatan pidana Penganiayaan dan/atau Pengeroyokan.

"Jelas diatur dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penganiayaan, yang berbunyi: penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan," tegas Dicki di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

Kemudian, lanjut pengacara dari Dicki Nelson & Partners Law Firm ini, pelaku juga bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 yang berbunyi barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

"Atas tindakan tersebut juga telah menimbulkan akibat terhadap korban dan masyarakat. Perbuatan tersebut menimbulkan akibat langsung terhadap psikis korban, serta akibat tidak langsung berupa keresahan dan ketakutan masyarakat sekitar.," ujarnya

Dalam konteks hukum pidana, sambungnya, akibat seperti ini menunjukkan adanya gangguan terhadap ketertiban umum dan rasa aman masyarakat, sehingga perkara semacam ini tidak semata-mata merupakan delik aduan pribadi, melainkan juga berimplikasi pada kepentingan publik.

"Hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan ancaman terhadap ketertiban umum wajib ditindak demi kepentingan hukum dan keadilan.
Fakta lain menyebutkan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh seorang pejabat tinggi PT PLN (Persero) yang menjabat sebagai Executive Vice President (EVP), maka tindakan kekerasan bersenjata tersebut melanggar prinsip integritas dan profesionalisme sebagaimana diatur dalam ketentuan etik korporasi.
Dalam Kode Etik dan Perilaku (Code of Conduct) PLN menjelaskan bahwa setiap insan atau pejabat PLN diharuskan untuk menjunjung tinggi kehormatan, martabat, menjaga citra perusahaan serta meningkatkan nilai perusahaan (value added)," urainya.

Selain itu, kata Dicki, ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-06/MBU/04/2021 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) mengharuskan setiap pejabat BUMN berperilaku etis, bertanggung jawab, dan menghindari perbuatan yang merusak reputasi perusahaan. 
.
"Oleh karena itu PLN secara internal wajib menjatuhkan sanksi etik dan/atau disiplin jabatan terhadap yang bersangkutan sebagai bentuk akuntabilitas moral dan korporasi," terangnya.

Menyikapi penerapan Restorative Justice (RJ) dalam kasus ini, Dicki menyebutkan bahwa dan dalam pelaksanaan RJ harus memenuhi syarat tertentu yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2022 tentang Keadilan Restoratif.

Adapun syarat dilakukannya RJ antara lain:
1. Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; 
2. Adanya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak secara sukarela tanpa adanya tekanan;
3. Tindak pidana dapat dilakukan Restorative Justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia;
4. Ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun;
5. Bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan;
6. Bukan Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara dan Tindak Pidana Korupsi.

Karena itu menurut Dicki, Apabila perbuatan tersebut menimbulkan keresahan publik dan melibatkan pejabat publik dengan senjata tajam, maka penerapan RJ seharusnya dilakukan secara hati-hati.

"Dan penegak hukum wajib mempertimbangkan kepentingan publik dan integritas institusi hukum agar tidak menimbulkan anggapan/indikasi penyelewengan Hukum di mata masyarakat. Karena jika kita kaitkan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi," bebernya.

"Dalam kasus ini Penggunaan senjata tajam oleh seorang pejabat tinggi PLN di ruang publik tentu menimbulkan keetakutan dan keresahan masyarakat, yang berarti melanggar hak konstitusional warga negara atas rasa aman dan perlindungan dari bentuk ancaman apapun. Negara, melalui aparat penegak hukum, berkewajiban memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat bukan hanya sekedar membiarkan tindak kekerasan diselesaikan dengan perdamaian," imbuhnya

Lanjut Dicki, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, menjelaskan bahwa siapa yang tanpa hak menggunakan senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

"Hal tersebut menerangkan bahwa dalam penerapan RJ pada kasus ini harus dikaji ulang kembali karena tidak memenuhi syarat RJ yaitu hanya berlaku bagi tindakan pidana yang ancamannya dibawah 5 tahun," pungkasnya.

#PLN

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index