ORBITRAYA.COM, Semarang - Publik dikejutkan oleh peristiwa dugaan penganiayaan terhadap dr. Astra, seorang dokter anestesi yang sedang bertugas di Rumah Sakit Islam Sultan Agung, Semarang. Berdasarkan pemberitaan media nasional, insiden tersebut melibatkan seorang suami pasien yang berprofesi sebagai dosen, yang diduga melakukan tindak kekerasan hingga merusak fasilitas ruang bersalin.(14/9/2025)
Akibat kejadian itu, dr. Astra mengalami trauma fisik dan psikis. Untuk sementara waktu, ia tidak dapat melanjutkan tugas mulianya menyelamatkan pasien. Kondisi ini menambah keprihatinan, mengingat tenaga medis dan tenaga kesehatan seharusnya mendapat perlindungan penuh saat menjalankan sumpah profesinya.
Sayangnya, kasus kekerasan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan bukanlah yang pertama. Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beberapa tahun terakhir mencatat adanya insiden serupa di berbagai daerah: dokter dianiaya keluarga pasien di Makassar (2023), perawat dipukul di Jakarta (2022), dan kasus intimidasi dokter di Jawa Barat (2021). Pola yang sama terus berulang: tenaga medis dan tenaga kesehatan menghadapi risiko ganda, bukan hanya menyelamatkan nyawa pasien, tetapi juga berhadapan dengan potensi kekerasan, ancaman dari keluarga pasien.
dr. Hansen, S.ked.S.H MH sebagai wakil ketua tim Advokasi keadilan dokter Astrandaya kepada awak media mengatakan Sebagaimana diketahui, pada Jumat (5/9/2025), dr. Astra menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan oleh suami pasien di salah satu rumah sakit Islam di Semarang. Pasca peristiwa tersebut, dr. Astra mengalami trauma fisik maupun psikis hingga untuk sementara waktu tidak dapat menjalankan profesinya sebagai dokter. Saat ini, tim kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Dokter Astrandaya tengah melakukan kajian hukum untuk memastikan langkah-langkah lanjutan guna menegakkan keadilan bagi dr. Astra serta memberikan efek jera terhadap pelaku (14/9/2025)
“Kami berkomitmen mengawal kasus ini secara serius. Kekerasan terhadap dokter adalah bentuk pelanggaran hukum sekaligus ancaman terhadap keselamatan pelayanan kesehatan. Kami ingin memastikan kejadian serupa tidak terulang lagi, serta perlindungan hukum bagi tenaga medis benar-benar ditegakkan,” ujar dr. Hansen, S.Ked., S.H., M.H., Wakil Ketua Tim Advokasi Keadilan Dokter Astrandaya.
Kasus ini hendaknya menjadi momentum perubahan:
1. Masyarakat, diimbau memahami bahwa dokter dan tenaga medis adalah mitra penyelamat, bukan pelampiasan emosi.
2. Rumah Sakit, perlu memperkuat SOP keamanan dan komunikasi dengan keluarga pasien.
3. Pemerintah & Aparat Penegak Hukum, dituntut lebih tegas memberikan perlindungan hukum serta efek jera bagi pelaku kekerasan.
4. Organisasi Profesi, harus terus memperjuangkan hak, keselamatan, dan martabat tenaga medis dalam menjalankan tugas kemanusiaannya.
Kekerasan terhadap dokter bukan hanya melukai seorang individu tetapi meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada sistem kesehatan.
“Menegakkan keadilan bagi dr Astra berarti menegakkan martabat seluruh tenaga medis di Indonesia,” tutup dr Hansen.
( Agus romadhon)