![]() |
ORBITRAYA.COM, PEKANBARU – Meski berstatus lahan sengketa dan belum mengantongi izin mendirikan bangunan, proyek pembangunan swalayan di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, Riau, tetap berlangsung.
Aktivitas konstruksi terpantau masih berjalan hingga hari ini, meski DPRD Kota Pekanbaru telah mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara.
Proyek yang diklaim sebagai pembangunan swalayan terbesar di Kota Pekanbaru itu berdiri di atas lahan seluas sekitar 60.000 meter persegi.
Padahal, status lahan tersebut tengah disengketakan dua pihak yang sama-sama mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pekanbaru telah menetapkan status status quo atas lahan tersebut.
Selain persoalan kepemilikan, proyek juga belum mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Hal ini diungkapkan Komisi IV DPRD Pekanbaru usai melakukan kunjungan lapangan pada Rabu (7/5/2025).
“Legal standing proyek ini tidak ada. Izin PBG pun tidak pernah diterbitkan oleh Dinas terkait. Kami sudah minta Satpol PP menyegel lokasi, tetapi belum ada tindakan hingga hari ini,” ujar Sekretaris Komisi IV DPRD Pekanbaru, Roni Amriel, Kamis (15/5/2025).
Menurut pantauan di lapangan, sejumlah alat berat masih beroperasi di balik pagar seng setinggi dua meter. Aktivitas pembangunan seperti pemasangan besi konstruksi dan penimbunan lahan masih berlangsung.
Juru Bicara Komisi IV, Zulfan Hafiz, menambahkan bahwa dinas-dinas teknis seperti Dinas PUPR dan DPMPTSP tidak pernah mengeluarkan izin pembangunan di lahan tersebut.
“Proyek ini berjalan tanpa dasar hukum. Bahkan BPN pun menyatakan ada tumpang tindih sertifikat. Ini sudah cukup alasan untuk menghentikan kegiatan di lapangan,” kata Zulfan.
Pembangunan Dilanggar di Tengah Sengketa
Praktisi hukum Alhendri Tandjung menilai pembangunan di atas lahan yang sedang dalam proses sengketa merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip kepastian hukum.
Ia menegaskan, pelaku pembangunan tanpa izin dapat dikenai sanksi perdata maupun pidana.
“Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menyebutkan secara jelas sanksi administratif, denda, hingga pencabutan bangunan bagi kegiatan konstruksi tanpa PBG,” ujarnya.
Alhendri juga menyebut, membangun di atas lahan status quo sama saja dengan mengabaikan proses hukum yang sedang berjalan.
“Ini bisa digugat ke pengadilan, karena termasuk tindakan melawan hukum,” katanya.
Kontraktor Sebut Hanya Jalankan Perintah
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD, pihak kontraktor PT Nusa Raya Cipta (NRC) menyatakan hanya menjalankan perintah dari pemberi kerja.
Mereka menyebut nama Ronny Attan sebagai pemilik proyek, namun enggan menjelaskan lebih jauh soal status lahan maupun legalitas pembangunan.
“Kami hanya pelaksana. Soal izin dan kepemilikan bukan kewenangan kami,” ujar Humas NRC, Raya Efendi.
Pihak Ronny Attan hingga kini belum memberikan tanggapan resmi. Upaya awak media untuk meminta konfirmasi juga belum membuahkan hasil.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Pekanbaru belum mengambil langkah penghentian fisik di lapangan. Padahal, DPRD telah mengeluarkan rekomendasi tertulis.
Anggota Komisi IV DPRD, Zulfahmi, mempertanyakan lambannya respons penegak Peraturan Daerah dalam menangani kasus ini.
“Kalau rekomendasi DPRD saja tidak dijalankan, lalu siapa yang bisa diandalkan untuk menegakkan hukum?” ujarnya.
Zulfahmi menduga ada tekanan politik atau kepentingan bisnis tertentu yang membuat proses penghentian proyek tersendat.
Pengujian Integritas Penegakan Hukum
Hingga saat ini, DPRD berencana memanggil kembali semua pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum. Komisi IV menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum.
“Ini bukan semata-mata soal perizinan bangunan. Ini soal uji integritas sistem penegakan hukum di Pekanbaru,” ujar Alhendri.
Meski berbagai rekomendasi telah dikeluarkan, pagar seng masih berdiri kokoh dan suara alat berat terus terdengar.
Pembangunan tetap berjalan di atas lahan yang seharusnya dibekukan sementara—sebuah ironi di tengah dorongan untuk membangun kota secara tertib dan berkeadilan. ***/Rls.